PENYELESAIAAN KASUS
PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI
BAGIAN
II
CARA-CARA
PENYELESAIAN SENGKETA
A. CARA-CARA
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Suatu konflik atau sengketa tidak akan selesai sampai
konflik atau sengketa tersebut terselesaikan. Sebenarnya penyelesaian sengketa
secara damailah yang diinginkan. Dimana bertujuan untuk mencegah dan
menghindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar
individu,kelompok,organisasi,lebaga bahkan antar negara sekalipun. Namun dengan
cara perdamaian haruslah dengan hati yang lapang menerima segala kesepakatan
yang disetujui. Dan dengan cara damai haruslah adil dimana yang berhak
mendapatkan dialah yang berhak mendapatkan, dan yang tidak berhak mendapatkan
haruslah menerima kalau hal yang dipermasalahkan bukan mmenjadi haknya.
Penyelesaian sifatnya adalah segera. Karena jika tidak segera ditanggapi dengan
tanggap maka permasalahan atau sengketa akan semakin memuncak. Dimana masalah
bisa menjadi semakin besar dan mengakibatkan adanya kekerasan diantara
kedua belah pihak tersebut.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan). Jelas sekali dalam undang-undang sudah tercantum pasal
mengenai perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama yang berdasarkan atas
asas kekeluargaan. Yang jelas kita lihat adalah koperasi dimana koperasi
menggunakan asas kekeluargaan. Dan banyak pula kita jumpai perusahaan besar
yang dalam operasi usahanya menggunakan jenis koperasi. Dimana segala
sesuatunya dijalankan bersama dan dengan asas kekeuargaan. Tak heran jika
perusahaan tersebut sukses besar. Karenan dengan asas kekeluargaan semua
dibicarakan dengan adanya saling menghormati dan menghargai pendapat, hak dan
kewajiban masing-msing anggotanya. Nah kita kembali ke topik bahasan,
penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui berbagai macam cara. Cara-cara
tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul
antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, tidak melibatkan
pihak ketiga, dan diantara keduanya tidak ada lagi berselisih paham setelah
mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya, serta keduanya saling menerima
kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dimana keduanya
tidak ada yang merasa dirugikan.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak keduanya dimaksud untuk mencari
fakta.
Hal
ini bisa kita sebut misalnya melalui kepolisian, dimana akan dikupas tuntas,
diselidiki hingga ketemu akar masalahnya. Dan fakta yang benar itulah yang
benar dan harus diterima oleh kedua belah pihak.
Selain itu, contoh yang bisa kita ambil adalah dalam
sengketa perebutan anak. Dimana siapa yang menjadi orang tua kandungnya. Hal
ini bisa meminta pihak ketiga(pihak rumah sakit) untuk melakukan tes DNA.
Dimana hasil yang keluar dari pihak rumah sakit menjadi bukti dari sengketa
tersebut yang kemudian untuk dijadikan penyelesaiannya..
3. Good offices (jasa-jasa
baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang
bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang
terjadi diantara mereka.
Bisa kita ambil contoh kedua pihak yang bersengketa sudah
tidak bisa mengatasi masalahnya atau sudah bosan menghadapinya, oleh
karena itu mereka menggunakan jasa seperti pengacara. Dalam hal ini pihak yang
bersengketa memberikan kuasa kepada jasa yang dipercaya untuk menyelesaikan
sengketa tersebut. Sering kita sebut pengacara. Dimana pengacara mencari bukti
kebenaran yang memihak kepada yang memberi perintah namun tetap mematuhi
peraturan undang-undang yang berlaku. Selain itu juga bisa kita ambil contoh,
klien atau yang bersengketa misalkan saja mengurus atau menyelesaikan kasusnya
ke dinas pemerintahan yang mengurus masalah hak milik tanah dan bangunan.
Disini pemerintah akan berusaha untuk mencari kebenaran yang ada tanpa menyembunyikan
fakta sekecil apapun. Hasil yang dicapai tentu harus diterima kedua pihak yang
bersengketa.
Penyelesaian
perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang
tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga
besar atau orang kaya. Yang dimaksudkan disini, karena dengan kekayaan orang
tersebut dapat menyuap jaksa atau bahkan dapat memanipulasi data.
2. Sebaliknya secara tidak
wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Disini orang besar atau orang kaya dengan kekuasaan mereka serta kepandaiannya
mereka mengerti akan prosedur yang harus dilalui, jauh dengan kalangan rakya
biasa yang tidak mengerti atau kekurang pahaman mereka akan setiap prosedur, dengan
kekurang pahaman kalangan biasa hal ini bisa sangat mudah mereka dibohongi oleh
kalangan besar dengan manipulasi data atau fakta yang sesungguhnya terjadi.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1.
Untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
kenapa suatu konflik diperkarakan,
karena keduanya sama-sama menginginkan ap yang diperebutkan itu menjadi
miliknya. Oleh karenanya mereka memperkarakan suatu sengketa dan mencari
pemecahannya yang menurut mereka itu adil.
2.
Pemecahannya harus cepat (quickly),
wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Yang dimaksud adalah karena kedua
belah pihak sudah lama menunggu suatu konflik yang telah berkepanjangan ini
segera usai. Oleh karena itu kedua belah pihak memperkarakan dengan
melaporkan kepada polisi atau pengacara atau dengan penyelidikan bermaksud
untuk lebih cepat mendapatkan hasil yang diperkarakan..
Selain dari pada itu berperkara
melalui pengadilan:
Memperkarakan sengketa melalui pengadilan justru akan
membuat semakin lama karena begitu banya prosedur yang harus diikuti. Selain
itu juga dalam pengadilan prosesnya lebih dan sangat forma. Disamping biaya
yang sangat tinggi karena harus membayar administrasi dan pengacara yang super
mahal, memperkarakan melalui pengadilan justru secara umum tidak dianggap dan
kurang memberi kesempatan yang wajar bagi yang rakyat biasa. Berikut
lebih ringkasnya dari penjelasan barusan :
1.
Lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2.
Biaya tinggi (very expensive),
3.
Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4.
Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
SISTEM ALTERNATIF YANG DIKEMBANGKAN
a).Sistem Mediation
b). Sistem Minitrial
c).Sistem Concilition
d).Sistem Adjudication
e). Sistem Arbitrase
b). Sistem Minitrial
c).Sistem Concilition
d).Sistem Adjudication
e). Sistem Arbitrase
a). Sistem Mediation
Mediasi adalah salah satu
alternatif yang dikembangkan. Selain sistem Mediation sistem yang dikembangkan
diantaranya adalah Sistem Minitrial, Sistem Concilition, Sistem Adjudication,
Sistem Arbitrase.
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian
sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui
litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau
penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem
mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Mediatornya
disini kita sebut saja misalnya pengadilan. Dimana dengan sistem ini
kedua pihak yang bersengketa datang bersama secara pribadi saling
berhadapan antara satu dengan yang lain. Kedua pihak berhadapan langsung dengan
mediator dimana mediator merupakan pihak ke tiga dimana mediator disini tidak
memihak pihak manapun bisa dikatakan pihak ke tiga atau mediator haruslah
netral.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Peran dan
fungsi mediator adalah membantu para pihak mencari jalan keluar atas
penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam
mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari
kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung
untuk mencari kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya
akan terjebak, pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin
mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri
(I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu
(there is no the way). Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua
pihak tidak mengikuti prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita
menggunakan jasa perahu kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan
lebih dengan berenang sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan
sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi. Mediasi bertujuan
untuk mencapai kompromi yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak
sama-sama menang atau win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau
losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat
yang paling menonjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud
(quick).
2. Biaya Murah (inexpensive)
3. Bersifat Rahasia
(confidential)
4. Bersifat Fair dengan Metode
Kompromi
5. Hubungan kedua belah pihak
kooperatif.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN
7. Tidak Emosional.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial.
Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa
antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan
sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka
mengadakan perundingan (negotiation),
2.
sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat
diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c).
Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai
atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam
Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia
dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1.
pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim
bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai.
2.
setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim
untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan
tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan
yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas
saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui
perdamaian di muka hakim.
Lain
halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific
seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem
konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari
penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di
negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian
mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2.
kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3.
ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui
konsolidasi,
4.
keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu
sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan
(ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari
penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat
sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka
mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke
pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan
kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai
the first resort.
Biasanya
lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak
sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional
yang bersangkutan. Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada
umumnya meliputi sengketa bisnis. Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution,
bukan putusan atau award (verdict). Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang
berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dengan demikian,
walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak,
apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta
eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya
harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d).
Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah
satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa
negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian "ajuddication" adalah
putusan. Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta
kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara
mereka, orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator,
dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge), oleh
karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang
diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan
kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena
untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional.
Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan
seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai
pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang
adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses
penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul
sengketa para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication berdasar
persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar
profesional, dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan
(authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang
mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party), sebelum mengambil
keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik
secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e).
Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh
Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini,
perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian
sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah
memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga
RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada
tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan,
jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan
sistem alternatif yang lain tadi, seperti sederhana dan cepat (informal dan
quick), prinsip konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang
memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan
dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation,
minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain
dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan
penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan.
Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang
jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan
ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a.
Biaya administrasi
b.
Honor arbitrator
c.
Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d.
Biaya saksi dan ahli.
Komponen
biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada
biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh
dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2.
Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion
quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi
adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase
dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan
waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi
timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati
atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian
bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1.
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.
dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan
administratif;
3.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil;
4.
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam
3 (tiga) golongan, yaitu:
1.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung
(negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan
konsiliasi),
2.
Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
3.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc
yang terlembaga.
Arbitrase
secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata,
namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang
menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya
memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang
tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang
timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi
ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa
mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
Contoh
Kasus :
Kasus berawal ketika ibu beranak satu itu memeriksa kandungannya ke dokter
Anthonius Heri yang membuka praktek di salah satu apotik di kawasan Bumi
Serpong Damai. Kepada dokter tetap keluarganya itu, Ade mengeluhkan adanya flek
merah pada celana dalam di saat kehamilannya yang masih berusia 15 minggu.
Melihat lemahnya kondisi Ade, Anthonius menyarankan untuk pemeriksaan lebih
lanjut ke RS Siloam.
Pada 16 April 2004, sekitar pukul 20.30 WIB, Ade bertemu lagi dengan dokter Anthonius dan memeriksakan diri di RS. Siloam Gleneagles. Setelah diperiksa dengan ultra sonografi (USG), pihak dokter menyatakan, kandungan Ade dalam kondisi baik dan sehat. Tapi, untuk menguatkan kandungan itu, Ade harus istirahat. Nah, dokter menawarkan Ade untuk beristirahat di rumah sakit. "Karena tidak ingin terjadi apa-apa, saya memilih untuk dirawat di rumah sakit saja," kata Ade.
Kemudian, Ade dimasukkan ke ruangan bersalin dan salah satu perawat langsung memberi infus kepada Ade berdasarkan petunjuk dokter Anthonius. Saat memberi infus itu, perawat tidak didampingi dokter. Sepuluh sampai lima belas menit kemudian, obat infus ternyata bereaksi terhadap kandungan Ade. Kandungan Ade mengalami kontraksi dan janin keluar, sehingga mengakibatkan kelahiran premature (abortus terancam) sehingga meninggal.
Akibat peristiwa itu, kata Yasrin Febrian Marly, jiwa Ade tergunjang. "Kami sudah meminta pihak rumah sakit untuk menyelesaikan kasus itu. Tapi tidak ada titik temu, walau sudah berulangkali berunding. Akhirnya, kami menempuh jalur hukum pidana dan perdata," kata Yasrin.
Sementara itu, pihak RS Siloam membantah jika pihaknya sudah melakukan mal praktek. "Abortus Imenen (aborsi dalam proses) dikarenakan kondisi dan situasi pasien saat itu memang membutuhkan perawatan intensif. Dugaan, pasien mengalami keguguran setelah meminum obat yang diberikan dokter, tidak benar. Karena pemberian obat selalu diberikan sesuai dengan petunjuk dokter, dan diagnosa juga dilihat dari kondisi pasien," kata Manajer Operasional RS Siloam, Andre.
Ketika ditanya nama dan jenis obat yang diberikan kepada Ade, Andre enggan menyebutnya. Andre hanya mengatakan, "jika memang keguguran itu disebabkan efek obat yang diberikan, itu kejadian tak terduga. Karena obat itu sering diberikan kepada pasien yang berkondisi sama".
Menurut Andre, Ade memang pelanggan RS Siloam. Proses persalinan Ade kali ini adalah kedua-kalinya. Saat kelahiran anak pertama, persalinan berjalan lancar. "Persalinan kali ini, kondisi pasien memang harus ditangani dan dirawat dengan serius. Bukan kondisi kandungannya yang mengkhawatirkan, tapi kondisi ibunya," kata Andre.
Pada 16 April 2004, sekitar pukul 20.30 WIB, Ade bertemu lagi dengan dokter Anthonius dan memeriksakan diri di RS. Siloam Gleneagles. Setelah diperiksa dengan ultra sonografi (USG), pihak dokter menyatakan, kandungan Ade dalam kondisi baik dan sehat. Tapi, untuk menguatkan kandungan itu, Ade harus istirahat. Nah, dokter menawarkan Ade untuk beristirahat di rumah sakit. "Karena tidak ingin terjadi apa-apa, saya memilih untuk dirawat di rumah sakit saja," kata Ade.
Kemudian, Ade dimasukkan ke ruangan bersalin dan salah satu perawat langsung memberi infus kepada Ade berdasarkan petunjuk dokter Anthonius. Saat memberi infus itu, perawat tidak didampingi dokter. Sepuluh sampai lima belas menit kemudian, obat infus ternyata bereaksi terhadap kandungan Ade. Kandungan Ade mengalami kontraksi dan janin keluar, sehingga mengakibatkan kelahiran premature (abortus terancam) sehingga meninggal.
Akibat peristiwa itu, kata Yasrin Febrian Marly, jiwa Ade tergunjang. "Kami sudah meminta pihak rumah sakit untuk menyelesaikan kasus itu. Tapi tidak ada titik temu, walau sudah berulangkali berunding. Akhirnya, kami menempuh jalur hukum pidana dan perdata," kata Yasrin.
Sementara itu, pihak RS Siloam membantah jika pihaknya sudah melakukan mal praktek. "Abortus Imenen (aborsi dalam proses) dikarenakan kondisi dan situasi pasien saat itu memang membutuhkan perawatan intensif. Dugaan, pasien mengalami keguguran setelah meminum obat yang diberikan dokter, tidak benar. Karena pemberian obat selalu diberikan sesuai dengan petunjuk dokter, dan diagnosa juga dilihat dari kondisi pasien," kata Manajer Operasional RS Siloam, Andre.
Ketika ditanya nama dan jenis obat yang diberikan kepada Ade, Andre enggan menyebutnya. Andre hanya mengatakan, "jika memang keguguran itu disebabkan efek obat yang diberikan, itu kejadian tak terduga. Karena obat itu sering diberikan kepada pasien yang berkondisi sama".
Menurut Andre, Ade memang pelanggan RS Siloam. Proses persalinan Ade kali ini adalah kedua-kalinya. Saat kelahiran anak pertama, persalinan berjalan lancar. "Persalinan kali ini, kondisi pasien memang harus ditangani dan dirawat dengan serius. Bukan kondisi kandungannya yang mengkhawatirkan, tapi kondisi ibunya," kata Andre.
II.
PENYELESAIAN KASUS DENGAN MEDIASI
2.1 Pendahuluan
Mendapatkan pelayanan kesehatan yang
layak adalah hak bagi setiap orang,tanpa terkecuali. Emua memiliki hak yang
sama akan pelayanan kesehatan yang bermutu. Dalam proses pelaksanaan pelayanan
kesehatan tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Ada yang puas dengan
pelayanan yang diberikan, dan ada yang tidak puas dengan pelayanan terebut,
seperti contohnya Kasus Prita Mulyasari denga RS Omni Internasional, yang
berujung pada penyelesaian melaui litigasi (jalur hukum).
Tidak semua sengketa medis
diselesaikan melalui jalur hukum(litigasi), terutama persoalan yang berkaitan
dengan dugaan adanya kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, hendaknya
lebih dahulu diselesaikan dengan mediasi (pasal 29 UU 36/2009). Mediasi adalah
suatu proses penyelesaian sengketa hukum yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pegaturan mediasi di pengadilan
diatur dalam Perma No.1 tahun 2008 dan khusus sengketa dalam hal kelalaian oleh
tenaga kesehatan juga telah diamanatkan dalam pasal 29 UU No.36 tahun
2009. Yang secara lengkap berbunyi
“dalam hal tenaga kesehatan
diduga malakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
2.2 Proses mediasi
Memulai proses mediasi dengan cara
sebagai berikut :
A. TAHAP PENCIPTAAN FORUM
1.
MEDIATOR MEMPERKENALKAN DIRI
MEDIATOR
NAMA
:MACHLI RIYADI, SH
PEKERJAAN
:MEDIATOR RESMI PADA PENGADILAN NEGERI TANGERANG
UMUR
: 49 TAHUN
ALAMAT
: JL.JAKARTA 45, TANGERANG
|
2.
MEDIATOR MENEKANKAN ADANYA KEMAUAN PARA PIHAK UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH
DENGAN MEDIASI
Pihak yang terlibat disini adalah
:
1.
PIHAK RS.SILOAM TANGERANG
2.
PIHAK PASIEN : ADE IRMA EFENDY, 37 TAHUN
|
3. MEDIATOR
MENJELASKAN PENGERTIAN MEDIASI DAN PERAN MEDIATOR
-
MEDIASI : adalah negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Dalam mediasi,
yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga
(mediator) berperan sebagai pendamping, pemangkin, dan penasihat. Sebagai
salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak
masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus.
-
PERAN MEDIATOR :
1.
Menciptakan iklim yang konstruktif dalam proses negosiasi.
2.
Mengidentifikasi dan mengkomunikasikan subtopic yang disepakati.
3.
Membantu para pihak menganalisa implikasi yang mungkin terjadi.
4.
Membantu para pihak untuk lebih kreatif mencari jalan keluar.
5.
Menjaga kelangsungan komunikasi di kedua pihak.
6.
Menjelaskan rasio dibalik kesepakatan yang dicapai, agar dapat diterima oleh
kedua belah pihak.
|
4. MENJELASKAN
PROSEDUR MEDIASI
PROSEDUR MEDIASI/TAHAP :
1.
TAHAP PENCIPTAAN FORUM
2.
TAHAP INFORMASI
3.
TAHAP PEMECAHAN MASALAH
4.
TAHAP KEPUTUSAN
|
5.
MENJELASKAN PENGERTIAN KASUS DAN PARAMETER KERAHASIAAN
6.
MENGURAIKAN JADWAL DAN LAMA PROSES MEDIASI
Tergantung
kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat.
|
7.
MENJELASKAN ATURAN PERILAKU DALAM PROSES PERUNDINGAN
8.
MEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PIHAK UNTUK BERTANYA DAN MENJAWABNYA.
B. TAHAP INFORMASI
1.
Mediator memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk berbicara.
2.
Masing-masing pihak menyampaikan fakta dan posisi menurut versi masing-masing
3.
Mediator bertindak sebagai pendengar yang aktif, dan dapat memberikan
pertanyaan.
4.
Mediator menerapkan aturan kepantasan dan mengontrol interaksi kedua
pihak.
5.
Mediator berhak mengadakan pertemuan terpisah dengan kedua pihak utuk
mengembangkan informasi.
6.
Mediator membuat rumusan ulang dan kemungkinan penyelesaian masing-masing
pihak.
C. TAHAP PEMECAHAN MASALAH
1.
Mengidentifikasi isu-isu atau topik umum permasalahan dan menyepakati sub topic
permasalahan yang akan dibahas dan menentukan urutan sub topic yang akan
dibahas dalam proses perundingan.
2. Memberikan
pengarahan kepada para pihak mengenai tawar menawar untuk pemecahan maslah
3.
Mengubah pendirian para pihak dari posisi menjadi kepentingan.
4.
Membantu para pihak menaksir,menilai dan memprioritaskan
kepentingan-kepentingan.
5. Memperluas
dan mempersempit sengketa.
6.
Membuat agenda negosiasi.
7.
Memberikan penyelesaian alternative (saran)
D.TAHAP KEPUTUSAN
1.
Mediator mengevaluasi pilihan.
2.
Menetapkan trade off dan menawarkan paket penyelesaian.
III.PENAFSIRAN
PENYELESAIAN KASUS MELALUI MEDIASI
Fakta yang didapatkan dalam
informasi kasus diatas adalah, bahwa :
1.
PIHAK RS.SILOAM TANGERANG
a.
Dr.Anthonius yang berada di klinik prakteknya juga bekerja di RS.Siloam sebagai
dr.kandungan yang memeriksa Ade dan merekomendasikannya untuk rawat inap, dan
ade menyetujuinya.
b.
Tidak adanya pendelegasian yang jelas dr.Anthonius kepada perawat, sehingga
tidak ada pendampingan pemasangan infuse.
c.
Kurang validnya pemeriksaan pasien, hanya dengan USG untuk diagnosis sementara
oleh dr.Anthonius. sehingga tidak diberikan penanganan khusus untuk si pasien.
2.
PIHAK PASIEN
a.
Pasien menyetujui dirujuk ke RS.Siolam
b.
Pasien menyanggupi dan menyetujui pelaksanaan rawat inap di RS.Siloam
c.
Pasien menerima tindakan dan penanganan yang diberikan oleh dr.Anthonius.
d.
Tidak ada informasi lebih lajut mengenai pasien usai pemeriksaan. Dan langsung
dirawat inapkan dengan pemasangan infuse oleh perawat.
3.
PENAFSIRAN
1.
Bahwa pihak RS.Siloam dalam hal ini oleh dr.Anthonius yang menangani keluhan
pasien, tidak memberikan pelayanan yang bermutu kepada pasien dalam
diagnosis dan penanganan (pasal 5 UU 36 tahun 2009).
2.
keluhan dengan melihat gejala yang di alami pasien, adanya bercak merah.
Menandakan indikasi keguguran yang mungkin didorong oleh faktor efek obat yang
diberikan dr.Anthonius. oleh sebab itu, kondisi keadaan pasien dan riwayat
penyakitnya yang terdahulu serta bawaan genetic juga mempengaruhi obat
yang diberikan oleh dr.Anthonius.
3. hal
ini dapat diselesaikan dengan jalan mediasi, dimana pihak RS.Siloam dalam hal
ini adalah Dr.Anthonius memberikan penjelasan sedetail dan selengkap-lengkapnya
mengenai alas an terjadinya hal tersebut. Penjelasan dapat mengenai tindakan
diagnosis dan obat yang diberikan.
4.
Pihak pasien dalam hal ini, adalah pihak yang dirugikan. Sebaiknya mendengarkan
dahulu serinci-rinci mengapa hal itu terjadi. Dan bertanya jika ada kejanggalan
dalam pelaksanaan yang telah dilaksanakan.
5.
Jika pasien merasa dirugikan, memang dengan perbuatan yang dianggap fatal.
Masalah ini dapat diteruskan, dan pihak RS.dapat digugat ke pengadilan.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar